BAB I : PENDAHULUAN
Orde
Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang
diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11
Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai
tonggak lahirnya Orde Baru. Usaha melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi tujuan utama
pembentukan pemerintahan Orde Baru. Namun, kehati-hatian pemerintah Orde Baru
terhadap bahaya komunis menyebabkan peran negara sangat besar dan mendominasi
kehidupan masyarakat. Akibatnya terjadi beberapa tragedi memilukan , yang
menelan korban jiwa. Salah satunya adalah Tragedi Tanjung Priok 1984.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan kronologi Tragedi Tanjung Priok 1984.
Seperti semua tragedi lain yang tetap menyisakan air mata. Tanggal 12
September 1984 akan dikenang sebagai hari yang kelam dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa
yang melayang.
Tanjung
Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) yang salah satunya dikenal beragama
Katholik, Sersan Satu Hermanu, tanpa membuka sepatu, memasuki mushala
As-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram
pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got/comberan bahkan ada yang
menyebutkan Sersan Satu Hermanu juga menginjak Al-Qur’an . Tindakan
Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Padahal pengumuman tadi
hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.
Tanjung
Priok, Ahad, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi
pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan
penyelesaian kepada jamaah kaum muslimin.
Tanjung
Priok, Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah
seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran
mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur
yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW,
diterima. Sementara usaha penengahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar
sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil,
mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4
orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
Tanjung
Priok, Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak
bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah
seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung
Priok, Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di
Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala
as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki,
yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi,
dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah
pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato
itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita
meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes
pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak
membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak
dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita
tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah
perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah
kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju
Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kira 200 meter jaraknya, di situ
sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis
dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu,
terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu
disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer
mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran
para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga
puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris;
beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer
yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!”
Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih
bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh
buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk
besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran
para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang
sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang
belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui
oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas
mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di
got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer
itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke
dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu
penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun
bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu
pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam
kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan
di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin
langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah
pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang
boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di
antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3
orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari
senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu
jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian
yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau
melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang
jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Kemudian, mayat-mayat itu
dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10, kira-kira 30-40 mayat berada
di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto. Sesampainya di rumah
sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok
tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB
Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama
ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu
kejadian sedini dan seawal mungkin.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal
L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang dan luka-luka
53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas
Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas,
belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa
pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang
menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang,
akan berurusan dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok
memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu
memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang
memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat yang menjadi Panglima ABRI saat itu,
Jenderal Leonardus Benny Moerdani, adalah seorang Katholik yang sudah dikenal
permusuhannya terhadap Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan
oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta
sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Adanya rekayasa dan provokasi untuk
memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu,
misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat
diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara
sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk
ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh
Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat
langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut
setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain
untuk memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.
A. Kesimpulan
Seperti semua tragedi lain yang tetap menyisakan air mata.
Tanggal 12 September 1984 akan dikenang sebagai hari yang kelam dalam
perjalanan bangsa Indonesia. Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan
pertumpahan darah, jiwa yang melayang.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima
ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang
dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK
(SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400
orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Tokoh-tokoh Islam
menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh
oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus
menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara murni, karena dalam Pancasila
terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu sendiri. Salah satunya adalah saling menghormati dan
menghargai satu sama lain. Hal ini penting, agar tidak timbul konflik-konflik
yang dapat berujung pada kejadian yang menelan korban jiwa, apalagi kalau
korban adalah orang yang tidak bersalah.
Buku Tanjung
Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data, Yogyakarta:
Gema Insani Press via
www.ummah.net
Posted By : Muhammad Rezki Rasyak
leave commentnya yah....