Monday, May 7, 2012

Makalah Kebudayaan Tionghoa (Tionghoa Culture)

Makalah Kebudayaan Tionghoa


 


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar belakang
Dalam pramodern Cina, sebagian besar orang-orang yang memegang kepercayaan dan praktek-praktek diamati terkait dengan kematian yang mereka pelajari sebagai anggota keluarga dan desa-desa, bukan sebagai anggota agama-agama terorganisir. Kepercayaan dan praktek-praktek semacam itu sering dimasukkan di bawah payung “agama rakyat Cina.” Kelembagaan bentuk Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan tradisi-tradisi lain menyumbang banyak keyakinan dan praktik agama populer dalam varian lokal. Hadis-hadis ini, terutama Buddhisme, termasuk ide budidaya pribadi untuk tujuan hidup dan kehidupan yang ideal, sebagai akibatnya, semacam mencapai keselamatan akhirat, seperti keabadian, pencerahan, atau kelahiran di alam surgawi. Namun, keselamatan pribadi memainkan peran kecil dalam agama yang paling populer. Dalam varian lokal khas agama rakyat, penekanan adalah pada (1) berpindah dari dunia ini menjadi wilayah leluhur bahwa dalam cara kunci mencerminkan dunia ini dan (2) interaksi antara orang-orang yang hidup dan nenek moyang mereka.
Agama Cina belum ditandai sebagai yang terorganisasi atau sistem terpadu praktik dan kepercayaan. Sebaliknya telah ditandai sebagai pliralistik sejak awl peradaban Cina tiga ribu tahun yang lali. Istilah agama di Cina digunakan untuk menggambrkan hubungan yang rumit dari berbagai agama dan tradisi filsafat di negeri ini.


Agama Cina terutma terdiri dari tiga tradisi utama : Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme, walaupun yang terakhir ini adalah sekolah filsafat dan bukan agama. Banyak sarjana termasuk empat tradisi, agama rakyat Cina. Prespektif keagamaan mayoritas penduduk Cina adalah campuran dari kepercayaan dan praktek dari tradisi keempat. Ini bukan praktik umum kecuali hanya satu agama yang lain, bahkan ketika mereka sering mengandung unsur-unsur yan saling bertentangan.
Jumlah orang yang mengikuti ajaran Budha lebih dari 1 miliyar (80%) dan Taoisme 400 juta (30%). Perhatikan bahwa banyak orang Cina menganggap diri mereka baik Budha dan Tao.
Agama-agama lain juga telah hadir dalam jumlah kecil di Cina selama beberapa abad, seperti Kristen dengan sekitar 50 juta (4%), Islam dengan 20 juta (1,5%), Hindu, Dongbaism, dan Bon. Ada juga agama-agama modern lainnya yang meningkatkan jumlah pengikut mereka di negeri ini seperti Xiantianism dan Falun Gong.


Beberapa dari agama-agama Cina berasal dari negara sendiri (Taoisme, Koghucu). Tetapi yang lain yang diimpor dari bagian-bagian lain dunia (Budhaisme dari India, kekristenan dari Barat). Semua umum, orang Cina dapat dengan mudah menyerap agaa yang tidak mencoba tradisi dasar , mereka tapi itu tidak sama jika ini dipaksakan, seperti yang terjadi selama mongol atau invasi Manchu. Upaya-upaya religius mereka memberi lebih percaya diri untuk orang Cina berdasarkan keunggulan keyakinan mereka.
Meskipun jumlah besar nominal pengikut agama-agama Cina dan bahwa bagian terbesar orang mengatakan bahwa mereka percaya pada Tuhan, takdir, nasib, keberuntungan dan akhirat; penduduk Cina tidak memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat. Kecenderungan ini telah sangat meningkat sejak Partai Komunis mengambil kekuasaan di tahun1949. Pemerintah dianjurkan praktek agama selama puluhan tahun dan selama Revolusi Kebudayaan, penganiayaan agama yang ekstensif dilakukan dan ratusan greja dan kuil-kuil yang hancur.
Namun, banyak orang Cina terus mempraktekkan keyakinan agama mereka, meskipun risiko pribadi yag tinggi. Periode liberalisasi berikut diizinkan baha agama tidak lagi dilarang pada tahun 1982, konstitusi ini dimodifikasi untuk mentoleransi kebebasan beragama, namun Pemerintah Cina terus menjadi “ateis” dan hari ini, banyak candi yang masih dianggap hanya “peninggalan budaya”.


















BAB II
PEBAHASAN
2.1 Keyakinan dan asumsi dasar bangsa Cina
Dalam setiap masyarakat manusia dapat ditemukan menifestasi dari keinginan manusia untuk beberapa jenis kelanjutan sesudah kematian. Dalam Barat modern, banyak pengalaman manusia telah dengan teori-teori agama yang menekankan kelanjutan nasib individu, sering depahami sebagai suatu spiritual “diri” atau “jiwa.” Biasanya, seseorang didorong untuk hidup dengan cara yang mempersiapkan satu untuk keselamatan pribadi, baik secara moral disiplin diri, mencarari rahmat Allah, atau cara lainnya. Indic tradisi, seperti Buddha dan Hindu, termasuk asumsi yang serupa tentang diri manusia/jiwa dan keselamatan pribadi. Dalam pramodern Cina, terutama jika salah satu pengaruh Buddhis diskon, keinginan seseorang untuk keberlangsungan sesudah kematian berakar pada asumsi yang berbeda dan diwujukan dalam praktek-praktek tidak berhubungan erat dengan mengejar keselamatan pribadi.
Pertama, Cina biologis menekankan kelanjutan melalui keturunan kepada siapa mereka memberikan karuia kehidupan dan untuk siapa mereka mengorbankan banyak kesenangan material kehidupan. Selain itu, pengorbanan pribadi tidak berakar pada kepercayaan dalam asketisme per se, melainkandalam sebuah keyakinan bahwa berkorban untuk satu keturunan di dalamnya akan menimbulkan kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang. Seperti yang tercantum dalam teks kuno, Kitab Filiaity (Periode Negara Perang, 453-221 SM), ini termasuk kewajiban untuk merawat tubuh seseorang sebagai hadiah dari orang tua dan untuk berhasil dalam hidup sehingga untuk memuliakan leluhur keluarga. Jadi satu tinggal di luar di atas semua melalui kesehatan dan keberhasilan seseorang anak-anak, cucu, dan besar-cucu.


Kedua, karena kewajiban ditanamkan pada anak-anak dan cucu-cucu, orang bisa menganggap mereka akan merawat satu di usia dan di akhirat. Memang, kehidupan setelah kematian yang terlibat perawatan yang paling penting dan kompleks ritual dalam kehidupan keagamaan Cina, termasuk pemakaman, berkabung praktik, dan upacara untuk leluhur. Semua ini sangat penting tidak hanya sebagai ekspresi dari masing-masing orang berharap untuk kelanjutan sesudah kematian, tetapi sebagai ungkapan kepedulian orang bahwa jiwa-jiwa untuk siapa tak ada yang peduli akan menjadi hantu yang berniat menyebabkan kerusakan.
Akhirnya, apa tekanan pada kewajiban bersama antara hidup dan yang mati; dengan kata lain, penekanan pada prinsip yang sama yang mengatur hubungan timbal balik antara anggota yang hidup dari masyarakat Cina. Saat itu diasumsikan bahwa yang mati dapat mempengaruhi kualitas hidup bagi mereka yang masih di dunia ini-baik untuk yang baik atau buruk. Di satu sisi, penguburan yang layak, berhati-hati berkabung pelaksanaan praktik, dan berkelanjutan persembahan makanan dan hadiah untuk meyakinkan nenek moyang mereka yang terus bantuan. Di sisi lain, kegagalan untuk memeuhi kewajiban-kewajiban ritual yang bisa membawa pada kemurkaan seseorang leluhur, mengakibatkan ketidakharmonisan keluarga, kehancuran ekonomi, atau penyakit. Leluhur jiwa untuk siapa tak ada yang peduli akan menjadi “hantu lapar” (egui), yang dapat menyerang siapa pun di masyarakat. Royal nenek moyang, yang menyembah adalah tanggung jawab khusus kaisar, bisa bantuan atau menyakiti orang di seluruh kekaisaran, tergantung pada apakah atau tidak kaisar kewajiban untuk menegakkan ritual leluhurnya.


Dalam Cina tradisional, gagasan bahwa kelanjutan pribadi setelah kematian dapat ditemukan dalam kehidupan keturunan seseorang telah berhubungan erat dengan praktek-praktek yang berakar pada kewajiban bersama antara hidup dan yang mati : mereka yang telah pindah ke negara leluhur keberadaan. Tapi apa sifat dari negara leluhur? Macam apa ritual untuk orang mati telah dilakukan oleh sebagian besar Cina? Dan dalam keadaan apa punya cina individu mencari sesuatu yang lebih daripada kehidupan akhirat sebagai nenek moyang nyaman dan bangga dengan cinta kasih dan sukses keturunan, yaitu semacam keselamatan pribadi?
2.2 Konsepsi of souls dan keberadaan leluhur
Ada bukti dari sedini periode Shag (sekitar 1500-1050) SM) yang dirawat leluhur cina serta takut pada mereka. Ini mungkin juga telah menjadi faktor utama dalam pengembangan keyakinan di ganda dan beberapa jiwa-jiwa. Terlambat dalam Dinasti Zhou (1050-256 SM), pemikiran kosmologis didominasi oleh yin-yang dikotomi, menurut mana semua aspek kehidupan adalah hasil dari pergantian dan saling mempengaruhi antara pasif (yin) dan aktif (yang) kekuatan. Filsuf dikotomi untuk menerapkan teori jiwa. Kekurangan apapun perbedaan mutlak antara fisik dan rohani, mereka dianggap sebagai yin jiwa (po) sebagai bahan lebih, dan jiwa yang (hun) sebagai lebih halus. Dalam praktekya, po dikaitkan dengan tubuh dan kuburan. Hun yang kurang menakutkan dikaitkan dengan tablet leuhur disimpan di rumah keluarga dan yang dipasang pada ruang leluhur (jika klan keluarga mampu untuk membangun satu). Bagi beberapa orang ini berarti ada dua hun, sama seperti, bagi orang lain, mungkin ada beberapa po. Salah satu pandangan umum termasuk ide dari tiga hun dan tujuh po. Teori jiwa yang majemuk ini termasuk di antara faktor-faktor dalam agama rakyat yang dikurangi secara luas kepercayaan dalam keselamatan jiwa individu. Pada saat yang sama, namun beberapa teori membantu cina untuk mengelola persepsi kontras jiwa leluhur (sebagai baik baik atau jahat, misalnya) dan untuk memberikan kerangka penjelasan bagi ritual yang berbeda dalam negeri, pemakaman, dan klan aula pemujaan untuk leluhur.
Sementara maksud dari semua ini jelas upacara untuk menghibur daripada nenek moyang mereka menderita murka-sifat eksistensi leluhur relatif terdefinisikan. Secara umum. Dunia para leluhur dikandung sebagai suram, gelap alam, sebuah “yin” ruang (yinjin). Meskipun tidak jelas persis rincian, Cina menganggap dunia arwah mirip dengan dunia yang hidup dicara kunci. Mereka percaya penduduk di wilayah lain butuh uang dan makanan, harus berurusan dengan birikrat, dan harus bekerja (dengan bantuan yang hidup) untuk meningkatkan nasib mereka. Setelah kedatangan agama Budha di abad-abad awal dari era umum, itu lebih spesifik menyumbangkan ide-ide tentanf dunia orang mati maupun konsepsi lebih tepat hubungan antara perbuatan seseorang, sementara hidup dan nasib seseorang sesudahnya.
Sebagai contoh, “birokrasi” dimensi neraka itu deperkuat oleh penglihatan Buddhis Sepuluh Pengadilan Neraka, di mana hukuman yang dijatuhkan hakim sesuai dengan prinsip-prisip yang diperlukan karna pahala untuk setiap perbuatan baik atau jahat. Selain itu, terlepas dari apakah mereka mengikuti agama Buddha dengan cara lain, kebanyakan orang Cina menganut doktrin karma (pembalasan bagi tindakan di masa lalu) dan samsara (siklus eksistensi) dalam pemikiran mereka tentang kehidupan dan kematian. Doktrin-doktrin ini membantu orang untuk menjelaskan nasib warga di alam yang hidup dan yang mati, belum lagi interaksi di antra mereka. Sebagai contoh, kisah-kisah hantu yang mengisi cina traktat religius serta sasra sekuler hantu biasanya hadir sebagai kendaraan dari krma pembalasan terhadap orang-orang fasik yang lolos dari hukuman oleh otoritas duniawi (mungkin dalam bekas seumur hidup). Saat membaca cerita-cerita seperti ini telah sering hanya pengalih perhatian biasa, melakukan ritual untuk memastikan bahwa leluhur pergi tidak menjadi hantu berkeliaran telah menjadi masalah serius.


2.3 Ritus untuk mati
Selama sejarah Cina, teks-teks klasik pada ritual dan komentar pada mereka telah meningkatkan pengaruh pada praktek ritual untuk orang mati. Catatan teks Ritual (Liji), setelah ditunjuk salah satu Konfusianisme’s “Lima Kitab Suci” selama zaman Han (206 SM -220 M), menjadi buku yang paling berpengaruh dalam hal ini. Ritual Keluarga menurut Master Zhu (Zhuzi jiali), oleh pemikir terkemuka kemudian Konfusianisme (Zhu Xi, 1130-1200 M), menjadi yang paling berpengaruh komentar. Pengaruh teks-teks ini mengakibatkan standarisasi luas khususnya upacara kematian dan upacara untuk orang mati pada umumnya. Menurut ahli antropologi budaya James Watson, upacara pemakaman standar menjadi penanda “Chineseness” untuk Han (etnis Cina) orang-orang dalam interaksi mereka dengan kelompok-kelompok etnis lain karena mereka menyebar ke wilayah-wilayah baru.
Dalam artikelnya, “Struktur Ritus pemakaman Cina,” Watson mengidentifikasi unsur-unsur sembilan upacara pemakaman standar: (1) keluarga memberikan pemberitahuan kepada publik dengan ratapan, paste up banner, dan tindakan-tindakan lain; (2) anggota keluarga mengenakan pakaian berkabung dari kain putih dan rami; (3) mereka ritual memandikan mayat; (4) mereka membuat persembahan makanan dan mentransfer kepada orang mati (dengan membakar) semangat uang dan berbagai barang-barang (rumah, meubel, dan item lainnya yang terbuat dari kertas); (5 ) mereka mempersiapkan dan memasang tablet leluhur di altar domestik; (6) mereka membayar uang untuk ritual spesialis (biasanya pendeta Tao atau Buddha ulama) sehingga dapat dengan aman mayat dikeluarkan dari masyarakat (dan roh yang diutus pada dunia lain perjalanan); (7) mereka mengatur musik untuk mengiringi gerakan mayat dan untuk menyelesaikan semangat; (8) mereka memiliki disegel mayat dalam peti mati kedap udara, dan (9) mereka mengeluarkan peti mati dari masyarakat dalam sebuah prosesi untuk pemakaman yang menandai selesainya upacara pemakaman dan menata panggung untuk dimakamkan.
Sementara kebiasaan penguburan lebih tunduk pada variasi lokal daripada upacara pemakaman seperti itu, di seluruh China ada preferensi untuk dimakamkan atas sarana alternatif berurusan dengan mayat. Sebagai contoh, beberapa memilih cina Buddhisme adat kremasi, meskipun jika tidak pengaruh kuat agama ini telah pada ide-ide dan praktek-praktek cina yang berhubungan dengan kehidupan dan kematian. Tidak seperti India, untuk siapa tubuh bisa dilihat sebagai kendaraan sementara untuk satu roh abadi, biasanya cina melihat tubuh sebagai hadiah yang berharga dari para leluhur bahwa salah satu tempat harus utuh di bawah tanah di dekat salah satu desa leluhur. Cina modern, khususnya di bawah Partai Komunis sejak 1949, Cina telah berpaling ke kremasi lebih sering. Tapi ini karena alasan praktis yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan partai kampanye melawan “takhayul” perilaku dan mendukung berhemat dalam melakukan ritual.
Secara tradisional, mayat, atau setidaknya tulang, mewakili kekuatan yang berlangsung di luar kematian dan dapat mempengaruhi nasib hidup keluarga. Untuk alasan ini, penggunaan ahli feng-shui (Cina geomansi) diperlukan untuk menentukan waktu, tempat, dan orientasi penguburan mayat. Penggunaan ini adalah sejalan dengan keyakinan tersebut bahwa po, yang berlama-lama di makam, lebih fisik sifatnya dari jiwa hun (s). Pentingnya digarisbawahi oleh kenyataan bahwa praktek sedang dihidupkan kembali di Cina setelah bertahun-tahun penghukuman oleh pejabat Komunis.
Merawat hun jiwa (s) telah di jantung ritual ibadah yang terjadi jauh dari Corbis grave. Di antara peringatan ini adalah kebiasaan berkabung sangat kompleks. Mereka diatur oleh prinsip umum bahwa kedekatan hubungan seseorang yang meninggal menentukan derajat berkabung orang harus mengamati (dilambangkan dengan kasar satu pakaian dan panjangnya masa berkabung, misalnya). Selain mengamati kebiasaan berkabung, keluarga almarhum diwajibkan untuk merawat jiwanya (s) di altar rumah dan di ruang leluhur marga, jika ada. Di altar rumah ingat keluarga yang baru saja mati sangat personal relatif melalui persembahan makanan favorit dan item lainnya. Mereka ingat lebih jauh saudara sebagai kelompok dalam ritus nenek moyang generik, seperti yang terjadi sebelum pesta-pesta keluarga di Tahun Baru, pertengahan musim gugur, dan festival lainnya. Memang, salah satu yang paling penting mengingatkan bahwa nenek moyang simbolis masih bagian dari keluarga inklusi mereka sebagai tamu terhormat pada hari libur makan.


2.4 Individu keselamatan
Cina keyakinan dan praktik yang berkaitan dengan kematian itu terkait erat dengan kehidupan keluarga dan, karena itu, dibentuk oleh para kolektivis mentalitas. Dalam artikelnya, “Jiwa dan Keselamatan: Terjadi konflik dalam bahasa Cina Populer Tema Agama,” antropolog Myron Cohen, bahkan berpendapat bahwa keselamatan individu mengejar itu bertentangan dengan agama rakyat ortodoks. Namun, pengejaran ini tidak absen dari kehidupan agama tradisional. penyebaran agama Buddha di seluruh China adalah salah satu faktor yang berkontribusi terhadap penerimaan. Faktor lain adalah semakin perkotaan dan mobile sifat masyarakat Cina dari waktu ke waktu. Setidaknya sejak dinasti Song (960-1279), kedua faktor mempunyai pengaruh kuat yang diberikan, sehingga untuk milenium terakhir Cina telah melihat pertumbuhan luar biasa dalam Buddhisme berorientasi berbaring dan dalam agama-agama lain dengan ideologi Bala Keselamatan berasal dari Buddha, Tao, dan lain-lain sumber.
Lay Buddha telah tertarik ke tingkat yang lebih besar daripada rekan-rekan mereka di biara tujuan kelahiran kembali di surga Barat, atau “Pure Land” (jingtu), dari Amitabha Buddha. Tidak seperti biasa nenek moyang dunia, yang cermin dunia ini dalam banyak cara, Tanah Murni diinginkan untuk cara-cara yang berbeda dari dunia ini. Hal ini tidak dihuni oleh kerabat, tetapi dengan bijaksana dan penuh kasih guru Buddha Dharma, dan bebas dari kotoran dan penderitaan dari dunia fana. Untuk beberapa bukan tempat sama sekali, hanya sebuah simbol kedamaian nirwana (pencerahan keberadaan siklus di luar negara).
Untuk tingkat yang lebih besar daripada Buddhisme, agama sinkretis tertentu yang ditetapkan ide-ide yang berdiri dalam ketegangan dengan hirarki, terikat pd bumi, dan kolektivis asumsi cina tradisional negara dan masyarakat. Apakah seseorang mempelajari Agama Teratai Putih akhir-akhir kekaisaran kali, Jalan Persatuan (Yiguan Dao) modern China dan Taiwan, atau gerakan Falun Gong dalam dua puluh firstcentury’s People’s Republic of China, penekanannya pada budidaya rohani individu dan, bila relevan, nasib individu setelah kematian. Bukti minat budidaya rohani individu dan keselamatan ditemukan dalam sekte ini ‘popularitas luar biasa, yang telah terkejut tradisional maupun kontemporer pemerintah.
Kelompok-kelompok seperti Jalan Kesatuan atau Falun Gong biasanya menekankan perlunya disiplin secara moral dalam gaya hidup dan pelatihan teknik budidaya spiritual yang unik tersedia untuk anggota. Norma-norma moral mereka sebagian besar dari Konfusianisme, dan teknik-teknik spiritual mereka dari Taoisme dan Buddhisme. Falun Gong janji bahwa teknik yang cukup kuat untuk menyelamatkan anggota dari penyakit fatal. Jalan Kesatuan janji-janji bahwa orang yang mengambil hak moral-spiritual akan menghindari bencana yang wajah orang lain saat mereka dekat akhir dunia. Tidak seperti orang lain, individu-individu ini akan bergabung dengan Abadi Mulia Ibu di surga. Sejak tahun 1600-an, gagasan tentang keselamatan melalui Yesus juga menarik perhatian beberapa orang Cina. Di masa lalu, orang Kristen cina ini diminta untuk meninggalkan ritus-ritus nenek moyang, sejak 1939, gereja Katolik telah memungkinkan Cina untuk menyembah Yesus dan juga melakukan ritual untuk nenek moyang, dengan beberapa kelompok Protestan mengikuti tren.
Sebagai asam modernitas terus menggerogoti kain tradisional masyarakat Cina, banyak orang Cina memeluk agama yang mengabarkan keselamatan pribadi setelah kematian. Mereka yang melakukan hal ini dapat meninggalkan praktek-praktek yang berkaitan dengan keyakinan tradisional tentang kehidupan, kematian, dan jiwa nenek moyang, atau mereka mungkin menemukan cara untuk mendamaikan praktik-praktik ini dengan sistem keyakinan baru mereka mengadopsi.


2.5 Mitos dan kerohanian bangsa Cina
Sebahagian besar budaya Cina berasaskan tanggapan bahawa wujudnya sebuah dunia roh. Berbagai-bagai kaedah penelahan telah membantu menjawab soalan, dan dijadikan pun alternatif kepada ubat. Budaya rakyat telah membantu mengisi kekosongan untuk segala hal yang tiada penjelasannya. Kaitan antara mitos, agama dan fenomena yang aneh memang rapat sekali. Dewa-dewi menjadi sebahagian tradisi, antara yang terpenting termasuk Guan Yin, Maharaja Jed dan Budai. Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional Cina. Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Di samping yang suci, turut dipercayai yang jahat. Amalan-amalan seperti menghalau mogwai dan jiang shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah antara konsep yang diamalkan secara turun-temurun. Upacara penilikan nasibCina masih diamalkan pada hari ini selepas bertahun-tahun mengalami perubahan.












 BAB III
PENUTUP
Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme adalah tiga agama besar di Cina, meskipun benar untuk mengatakan bahwa Konfusianisme adalah sekolah filsafat dan bukan agama. Secara umum, orang Cina tidak memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat tetapi meskipun tiga agama utama memiliki banyak pengikut. Kenyataan bahwa Konfusianisme adalah filsafat bukan agama berarti itu menjadi doktrin ortodoks intelektual Cina di hari-hari dari masyarakat feodal. Namun, intelektual tersebut tidak menempel pada doktrin mereka sebagai orang percaya menempel keyakinannya. Seseorang diringkas sikap sejati intelektual sebagai cina – mereka mengikuti ajaran-ajaran Konfusius dan Mencius ketika mereka sukses tapi akan berpaling kepada Taoisme ketika mereka frustrasi.
Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme adalah tiga agama besar di Cina, meskipun benar untuk mengatakan bahwa Konfusianisme adalah sekolah filsafat dan bukan agama. Secara umum, orang Cina tidak memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat tetapi meskipun tiga agama utama memiliki banyak pengikut. Kenyataan bahwa Konfusianisme adalah filsafat bukan agama berarti itu menjadi doktrin ortodoks intelektual Cina di hari-hari dari masyarakat feodal. Namun, intelektual tersebut tidak menempel pada doktrin mereka sebagai orang percaya menempel keyakinannya. Seseorang diringkas sikap sejati intelektual sebagai cina – mereka mengikuti ajaran-ajaran Konfusius dan Mencius ketika mereka sukses tapi akan berpaling kepada Taoisme ketika mereka frustrasi.




 


DAFTAR PUSTAKA
http://www.travelchinaguide.com/intro/religion/
Ahern, Emily M. The Cult of the Dead di Desa Cina. Stanford, CA: Stanford University Press, 1973

Makalah Etika dan Kepribadian (Etika dan Kepribadian)

Makalah Etika dan Kepribadian



BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Etika dan Kepribadian

a. Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.


Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.


2. Kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. Ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). 
Etika terbagi atas 2 jenis, yaitu :
1. Etika Filosofis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya. 

2. Etika Teologis
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu :
Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup. 
Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis:
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:
Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.


b. Kepribadian
Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain
Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.
Kepribadian menurut pengertian sehari-hari
Disamping itu kepribadian sering diartikan dengan ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, seperti kepada orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan atribut “berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan atribut “tidak punya kepribadian”.
Kepribadian menurut psikologi
Berdasarkan penjelasan Gordon Allport tersebut kita dapat melihat bahwa kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan.

Teori kepribadian psikodinamika :
Teori psikodinamika berfokus pada pergerakan energi psikologis di dalam manusia, dalam bentuk kelekatan, konflik, dan motivasi.
Teori Freud
Sigmund Freud berpendapat bahwa kepribadian terdiri dari tiga sistem utama: id, ego, dan superego. Setiap tindakan kita merupakan hasil interaksi dan keseimbangan antara ketiga sistem tersebut.
Teori Jung
Carl Jung pada awalnya adalah salah satu sahabat terdekat Freud dan anggota lingkaran koleganya, tetapi pertemanan mereka berakhir dalam pertengkaran tentang ketidaksadaran. Menurut Jung, di samping ketidaksadaran individual, manusia memiliki ketidaksadaran kolektif yang mencakup ingatan universal, simbol-simbol, gambaran tertentu, dan tema-tema yang disebutya sebagai arketipe.




Faktor-faktor penentu kepribadian
Faktor Keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu.
Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir. Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan. Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan. Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.
Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah. Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis. Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama. 
Faktor Lingkungan
Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang. Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain. Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier. 

Sifat-Sifat Kepribadian
Berbagai penelitian awal mengenai struktur kepribadian berkisar di seputar upaya untuk mengidentifikasikan dan menamai karakteristik permanen yang menjelaskan perilaku individu seseorang. Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu adalah malu, agresif, patuh, malas, ambisius, setia, dan takut. Karakteristik-karakteristik tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian. Sifat kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat perhatian cukup besar karena para peneliti telah lama meyakini bahwa sifat-sifat kepribadian dapat membantu proses seleksi karyawan, menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu keputusan pengembangan karier.



BAB II
CONTOH-CONTOH MATERI


PENYIMPANGAN INDIVIDU
KORUPSI



        Korupsi adalah perilaku menyimpang yang di lakukan secara individu, namun dapat juga di lakukan secara berkelompok atau terorganisir, akan tetapi pada umummnya korupsi dilakukan secara individual, karena factor iming-iming materi yang akan didapatkannya sehingga peyimpangan ini di lakukan secara individual.
Untuk memberantas sang koruptor perlu adanya sanksi yang cukup keras, untuk sang koruptor, dan memang harus ada kesadaran dari dalam.






HUBUNGAN SEKS DI LUAR NIKAH






        Hubungan seks di luar nikah pada zaman sekarang ini rata-rata dilakukan pada usia dibawah umur atau masih menginjak bangku sekolah.
Pengawasan orang tua merupakan factor yang paling mempengaruhi penyimpangan tersebut, karena dengan adanya pengawasan dari orng tua terhadap perilaku keseharian anak-anaknya maka hal-hal tersebut bisa terhindari.
Perlu juga adanya sosialisasi atau pemahaman yang lebih mendalam, tetang hubungan sex, sehingga para pelajar mengetahui dampak negative dan positif dari perbuatan tersebut, Dan hal” tersebut dapat terhindari.



PENYIMPANGAN KELOMPOK
TAWURAN







      Tawuran pelajar sudah marak di lakukan para remaja untuk menyelesaikan sebuah masalah, mungkin ini merupakan factor-faktor media social (TV) yang selalu menampilkan tayangan-tayangan tawuran para mahasiswa atau antar warga, sehingga para remaja tersebut mengukuti hal-hal tersebut untuk mnyelesaikan masalahnya pula.
Ini sudah jelas-jelas merupakan penyimpanghan social selain karena factor lingkungan juga karena factor pengawasan guru-guru sekolah.
Untuk menyadarkan kembali para remaja yang terlibat tawuran tersebut. Perlu dilakukan sosialisasi di sekolah. Dan perlu juga ada sanksi tegas dari pihak sekolah, sebagai peringatn kepada mereka.



ARAK-ARAKAN PELAJAR

      









Sudah menjadi tradisi di kalangan para pelajar, setelah lulus sekolah mereka melakukan arak-arakan di jalan sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas, mengapa hal ini di kategorikan juga sebagai penyimpangan ? karena adanya tindakan yang teroganisir yang dapat menimbulkan masalah dalam masyarakat.




BAB III
KESIMPULAN

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000),
Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain
Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.