Oke sekarang aku bakal bagi nih satu budaya khas pangkep yang sampe sekarang masih bertahan dan lestari,aku yakin banget kalian bakalan tertarik ke pangkep dan bakalan mau langsung ngeliat s budaya ini,
i want to explain someone culture from pangkep south sulawesi,and i believe you certain like my posting now, cause it's a someone culture with the unique practics and then unique activity
BISSU
Bissu atau kamunitas bissu yang ada di Pangkep. Mereka masih memegang teguh tradisi dan peran sebagai pemelihara dan pelestari nilai-nilai budaya bugis klasik dan digambarkan sebagai manusia setengah dewa yang memiliki kekuatan Supranatural.Mereka mendayagunakan hubungan dengan dunia roh dan bertindak sebagai media roh yang memasukinya. Setelah kerasukan barulah mereka dapat melaksanakan upacara ritual, seperti Maggiri sebuah ritual menikam diri sendiri. Bissu dengan tradisi transvestite-nya( lelaki yang berperan sebagai perempuan) juga dikatakan sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan para sesamanya.Keberadaan Bissu sebagai benang merah kesinambungan adat dan tradisi Bugis kuno yang masih eksis ditanah Bugis hingga dewasa ini.
Selain untuk acara kerajaan, peran bissu juga sangat dominan pada acara mappalili atau turun sawah. Upacara dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dengan membaca mantera yang disebut dengan Mattesu Arajang yakni semacam ritual memohon restu Dewata dilangit. Menurut para bissu, hanya dengan restu Dewata para petani dan masyarakat dapat memperoleh hasil tanam yang baik. Oleh karena itu, acara mattedu Arajang dipandang sakral oleh masyarakat tradisional Bugis. Untuk diketahui bahwa komunitas Bissu pangkep tergolong Bissu Dewatae yang amat dihormati oleh komunitas bissu lainnya di tanah bugis. Dewasa ini Komunitas Bissu pangkep di pimpin oleh Puang Matoa SAIDI yang berkedudukan di ‘istana’ ArajangE Segeri Pangkep.
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, istilah Bissu merupakan istilah yang tidak asing di telinga mereka. Akan tetapi, apabila istilah Bissu itu di hadapkan pada warga berdarah Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan daerah – daerah lain di luar Sulawesi Selatan, pastilah iistilah tersebut merupakan sesuatu yang sangat asing bagi mereka.Para peneliti antropolog ( persebaran budaya ) di makssar mengambil suatu kesepakatan bahwa di daerh Sulawesi Selatan terdapat lima macam gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter#29 November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki ( oroane ), perempuan ( makunrai ), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai ), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan ( calabai ) dan para-gender bissu.
Jenis Bissu ini sering disalah artikan oleh sebagian besar masyarakat. Mereka dianggap identik sebagai calabai yaitu seorang laki – laki yang berpenampilan layaknya seorang perempuan walau peran dan kedudukan Bissu ini dalam kebudaan bugis sebenarnya tidak demikian. Ada juga yang mempertautkan keunikan yang dimiliki oleh kaum Bissu ini dengan dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, Hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.
Keunikan lain dari para Bissu itu sendiri bisa dilihat pada setiap musim tanam, kelompok Bissu selalu jadi penentu yang lebih baik, dibanding para pakar pertanian. Ritual ini di namakan mappasili atau ritual mencuci benda bersejerah Bissu. Kemudian dilanjutkan dengan warga untuk turun ke sawah. Seolah menjadi kepercayaan warga, mereka tidak boleh turun ke sawah sebelum para bissu ini menggelar ritual mappasili. Juga pada saat menangani orang yang sakit. Bissu berperan menjadi sandro (pengobat). Kita juga mengenal, mereka itu adalah orang yang kebal dan tak mempan dengan tusukan keris atau benda tajam lainnya.
Ditambahkan peneliti lainnya, Nasruddin, Bissu atau calabai (Bugis : banci) dimaknai masyarakat Bugis-Makassar, sebagai sebuah kesenian. Ada dikenal upacara "Mappalili". Peristiwa itu adalah upacara sebelum memulai menanam padi. Puncak dari upacara disebut disebut "Ma'giri" atau menusuk tubuh dengan keris.
Bagi orang asing yang ingin melihat dan ingin mengabadikan momen upacara adat itu, maka mereka di wajibkan untuk meminta izin terlebih dahulu. Namun meminta izin tersebut bukan ditujukan untuk orang atau atasan di tempat itu. Namun, meminta izin itu harus di pandu oleh ketua / pemimpin Bissu. Orang yang ingin meminta izin itu harus masuk ke dalam suatu ruangan dengan didampingi oleh Puang Matoa atau pimpinan Bissu. Di dalam ruangan berukuran satu kali empat meter itu, hanya terlihat kain berwarna merah yang membalut dinding ruangan tersebut. Di dalam ruangan terlihat asap dari dupa – dupa yang terbakar. Setelah Puang Matoa membaca mantra – mantra maka selesailah prosesi permintaan izin untuk mengabadikan
Bissu sendiri memahami, pembawaan mereka yang terkesan " sakti " itu, adalah keajaiban yang diturunkan dewata. Makanya, mereka harus suci dan tidak kawin. Semua mereka adalah kaum waria, dalam artian mereka itu harus menjaga kesuciannya. Dalam kitab La Galigo, Bissu dianggap sebagai manusia suci atau keturunan para Dewa. Dalam struktur kerajaan di Sulawesi Selatan, Bissu adalah penasihat spiritual dan rohani para raja. Begitu pentingnya figur Bissu bagi masyarakat ini, sehingga dalam upacara ritual yang mereka laksanakan Bissu dijadikan sebagai pemimpinnya. Diantara bentuk upacara yang kini masih tersisa adalah Mapeca Sure dan Masongka Bala, yakni upacara memohon keselamatan bagi seluruh warga masyarakat dan para pemimpin kerajaan. Ritual Massongka Bala adalah ritual yang sudah lama sekali. Sejak adanya manusia, sejak itu pula Massongka Bala diadakan dan yang memimpin acara Massongka Bala itu adalah golongan Bissu. Dalam sejarahnya, Bissu menentukan waktu upacara yang dilihami wahyu dari Tuhan yang disebut istilah eppa sulapa ipasabbi pole yawa pole yase. Disini Bissu menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan.
Asal Usul Kehadiran Bissu
Tidak ada yang bisa menjelaskan secara akurat tentang asal usul kehadiran Bissu di Sulawesi Selatan. Kita hanya dapat meramalkannya dari legenda – legenda masyarakat. Menurut seorang Bissu Saidi Puang Matoa Karaeng Sigeri, kedatangan Bissu dapat di ketahui dari kitab Sure’ La Galigo. Di dalam kitab ini dikatakan bahwa keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri.
Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.
Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.
Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di khayangan.
Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, yaitu laki - laki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements). Selain itu Bissu juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Alam makhluk yaitu keberadaan Bissu yang ada di dunia nyata. Sedangkan alam roh ( Spirit ) yaitu keberadaan Bissu yang bisa berkomunikasi dengan para dewa. Ini dilakukan oleh para Bissu hanya pada saat ritual – ritual dilakukan.
Ketua para Bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya berasal dari kalangan bangsawan tingkat tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya.
Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. “ Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia“ . Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.
Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.
Prosesi Ajarang.
Di dalam ruangan sempit tempat penyimpanan benda – benda bersejarah, diadakan ritual dengan diawali pembacaan sejumlah mantra dari pimpinan bissu. Lalu bergumpalah asap berwarna putih mengitari ruangan tersebut. Dua buah parang lalu diberikan oleh salah seorang bissu kepada pimpinannnya. Suara yang melengking keluar. Selain suaranya yang sangat melengking itu, Bissu itu juga penggunaan bahasa bugis yang artinya juga kurang bisa di mengerti.kemungkinan bahasa yang diucapkan oleh Bissu itu adalah bahasa bugis kuno. Sambil teerdengar suara iringan musik gendak, kecapi dan seruling dari sejumlah pemangku adat. Sementara bissu lainnya yang terlibat dalam ritual ini bertugas memukul-mukul sejumlah peralatan yang bisa mengeluarkan bunyi. Tapi anehnya, suara tersebut mengikuti irama mantra-mantra yang diucapkan pimpinan bissu.
Usai membuka ritual ini, para bissu kemudian masuk ke dalam ruangan dan seolah-olah bertapa. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah benda yang tergantung di langit – langit ruangan itu. Di dalam ruangan itu, pimpinan Bissu mengambil posisi duduk paling depan. Posisinya duduk bertungku satu kaki. Sementara tangan kirinya memegang sebuah parang. Kalimat-kalimat atau bahasa yang yang tidak jelas artinya di ucapkan kembali oleh Bissu itu. Lalu diikuti suara bissu lainnya. Suaranya pun, diawali suara kecil dan lama ke lamaan besar lalu mengeluarkan suara lengkingan. Kegiatan tersebut oleh kalangan Bissu dikatakan sebagai salah satu ritual meminta izin kepada leluhur agar benda yang dianggap bersejarah itu dapat diturunkan. Katanya, pamali jika tidak dilakukan ritual seperti ini. Dan akhirnya, benda yang terbungkus kain putih dan tergantung di langit – langit ruangan itu pun lalu diturunkan.
Tujuh pemangku adat bersama sejumlah bissu terlihat sangat sibuk membopong benda yang dibungkus kain putih tersebut. Panjangnya sekitar tiga meter. Tak lama kemudian kain putih pun disibakan. Lalu terlihatlah oleh sebuah kayu tua yang cukup besar. Ternyata benda yang dibopong keluar itu adalah bajak sawah. Bajak yang dipakai oleh orang – orang saat akan turun ke sawah. Orang bugis mengistilahkan Tekko". Benda ini katanya sudah berumur ratusan tahun atau sekitar tahun 1770an silam. Dan setiap tahun selalu diadakan ritual pencucian benda bersejarah ini. Setelah kain dilepas, satu persatu para bissu memandikan alat pembajak sawah ini atau orang bissu mengatakan Arajang. Puncak acara ini adalah mengarak keliling arajang ke kampung-kampung. Itulah mengapa disebut ritual mappasili atau sebagai tanda petani sudah harus mulai turun ke sawahnya untuk membajak sawah. Pantas saja, saat setelah alat bajak yang terbuat dari kayu ini dimandikan-lalu dibungku daun pisang dan dikelilingi tumpukan padi yang dalam berbagai ikatan. Orang Bugis menyebutnya balesse.
Sakti?
Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).
Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, hal 106).
Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).
Menjadi Bissu
Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai. Seperti halnya yang dialami oleh Muharrom menjadi bagian dari Komunitas Bissu Dewata sejak Maret 2003, setelah ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang memintanya menjadi bissu. Ia yakin, itu bukan mimpi biasa. Tapi, merupakan petunjuk dari Dewata, yang akan merubah perjalanan hidupnya. Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati (Sharyn Graham).
Puang matowa atau pemimpin Komunitas Bissu Dewata di kawasan Segeri, begitu bersemangat untuk mendidik calon – calon Bissu baru. Dalam berbagai kesempatan, mereka diajarkan mengenal bahasa Dewa (basa bissu atau basa to ri langiq) dan juga bahasa La Galigo, yang biasa dipakai dalam setiap upacara adat. Bahasa Bissu (basa to ri langiq) adalah bahasa yang digunakan para Bissu untuk berdialog dengan dewa. Mereka sangat merahasiakan bahasa ini. Puang Matoa hanya bisa menggambarkan bahwa bahasa Bissu berisi puji - pujian terhadap Dewa dan permohonan untuk mendapatkan berkah.
Selain mempelajari berbagai masalah kependetaan dan adat, Hasna juga mendapat ilmu lain dari Puang Matowa, yakni menjadi indo botting ( ibu dari mempelai dalam sebuah pesta pernikahan ). Ia bertugas menangani tata rias pengantin, dekorasi pelaminan, hingga makanan para tamu. Bahkan, ia pun kerap memimpin ritual adat.
Selain itu, menangani pesta pernikahan memang merupakan satu-satu lahan nafkah bagi para Bissu. Mereka memang dikenal trampil merias pengantin, menata kostum kedua mempelai, juga menata tempat pelaminannya. Kemampuan supranuturalnya pun diyakini bisa membuat kedua mempelai bersinar, saat mereka berada di kursi pelaminannnya. Hasna mengaku, ia pun memiliki kemampuan seperti itu.
Ancaman Kepada Bissu
Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia agama lokal atau kepercayaan asli masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnya
Secara garis besar ancaman-ancaman yang menimpa komuniatas adat dimulai pada saat masuknya agama-agama luar seperti agama islam yang dibawa para pedagang-pedagang Gujarat, Persia dan lain-lain maupun agama Kristen yang dibawa oleh Misionaris-misionaris.
Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal yang dapat dilihat dengan diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia.
Hal lain yang menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia yang mana sangat meminggirkan hak ulayat masyarakat adat yang notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh sebelum Indonesia dicetuskan pada tanggal 17-08-1945.
Demikian halnya yang dialami oleh komunitas Bissu yang berada di Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sopeng dan Kabupaten Pangkep. Ditengah terpaan ancaman-ancaman yang ada di komunitas ini berusaha kuat untuk tetap eksis di bawah kepemimpianan Puang Matoa Bissu untuk tetap mempertahankan dan menjalankan kemurnian ajaran Ilagaligo sebuah kepercayaan yang diwariskan secara turun temururn yang tertuang dalam sebuah kitab “Sure” ILLAGALIGO yang sejarahnya ILAGALIGO merupakan anak dari Sawe Rigading yang merupakan Raja Luwu dengan istri bernama I We Cudai, sementara Raja Sawerigading sendiri merupakan putra dari hasil perkawinan Batara Guru yang merupakan putra dari Patoto ‘E Ri Boting Langi (pemimpin dunia atas atau kahyangan) dengan WENYILOTIMO yang merupakan putri dari Guru Salle (pemimpin dunia bawah/ bumi pertiwi).
Komunitas bissu yang sejak keberadaannya semapai sekarang berjumlah 40 orang yang dipimpin Puang Matoa Bissu SAidi melaksanakan fungsinya selain fungsi yang disebutkan diatas juga berfungsi/ bertugas untuk menyiapkan alat-alat upacara seperti upacara “Bau Ade Si Wewang Lino” , upacara Laowawang Lino”. Menentukan hati baik dan buruk dan menyemangati Sao Den Ra Kati disamping berbgaimacam tugas-tugas lain seperti tertuang dalam kitab ILLAGALIGO.
Mencermati kondisi masyarakat adat di tengah ancaman yang tersebut diatas yang mana telah berdampak pada penghilangan jati diri bangsa bahakan pembunuhan komunitas adat. Langkah konsolidasi dan penguatan masyarakat adat termasuk Komunitas Bissu menjadi agenda utama yng harus secepatnya dan terus menerus/ berkesinambungan untuk dilakukan menuju masyarakat adat yang berdaulat. Yang lainadalah untuk mengakui sepenuhnya keberdaan masyarakat.
Konflik dengan Islam?
Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40 malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.
Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan ( tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan menjalankan sunnatullah.
Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.
Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria).
Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.
Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan. Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili .
Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.
Di antaranya sudah ada yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, bahkan dalam lagu bissu-nya yang didapati di dalam naskah tua, sudah ada yang mencantumkan nama Allah, malaikat, dan nabi. Pada umumnya bissu asli di Sulawesi Selatan yang jumlahnya saat ini diduga tinggal empat puluh-an itu secara statistik kependudukan menganut agama Islam.
Kepercayaan Bissu
Komunitas Bissu di Pangkep tetap eksis dengan segala aktivitas yang menjadi ciri khasnya. Keberadaan mereka bahkan menjadi salah satu warna tersendiri di Pangkep yang belakangan selalu mengisi salah satu keberagaman kebudayaan Pangkep dengan pertunjukan seni Tari Maggiri. Tapi, apa sebetulnya agama dan kepercayaan yang dianut komunitas ini? Hal itu menjadi sororan masyarakat Pangkep saat ini.
Komunitas Bissu percaya terhadap Dewata Seuwae (kepercayaan turiolo Bugis Makassar Pra Islam). Hal itu kemudian menuai sorotan berbagai pihak mengenai kepercayaan yang dianut komunitas ini. Anggota DPRD Pangkep dari PKS, M Yusuf Halid, mengungkapkan, bagaimanapun kepercayaan yang dianut oleh Bissu itu menyimpang dari aqidah Islam yang murni. Meski demikian, Pemerintah Kabupaten harus bertindak arif menanganinya.
Menurut Drs Ahmad, Kasubdin Promosi Wisata Disbudpar Pangkep, saat ini masyarakat Bugis Makassar pada umumnya menganut Agama Islam. Namun demikian, upacara-upacara pemujaan kepada dewata dan leluhur yang tentu saja di luar ajaran Islam masih diapresiasi baik oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya terutama sebagai petani dan nelayan.
Upacara-upacara ritual yang kini lebih mengarah kepada tradisi dan kebudayaan ini merupakan kelanjutan dari kepercayaan Bugis Kuno yang masih tersisa. Dengan kekuatan yang dipercaya sebagai kekuatan supranatural, 'Bissu Dewatae'---sebutan bagi komunitas Bissu di Pangkep dahulu merupakan penasehat kerajaan yang sangat dihormati dan disegani.
'Bissu Dewatae' digambarkan sebagai manusia setengah dewa dan dianggap sebagai media untuk berkomunikasi dengan dunia spiritual. Komunitas Bissu Dewatae hidup dalam suatu aturan serta disiplin tinggi yang tampaknya sulit untuk dijalankan oleh mereka yang tidak mampu melihat gaya hidup semacam ini sebagai suatu panggilan suci.
Seorang calon bissu akan membutuhkan pendidikan serta pelatihan yang tidak mudah selama bertahun-tahun untuk dapat menjadi bagian dari komunitas ini. Selain mempelajari etika kebissuan, yakni sebuah bahasa artifisial yang mereka gunakan dalam mantera dan saat berkomunitas dengan para dewata.
Saat melakukan upacara ritual, Bissu Dewatae berada dalam keadaan kerasukan dan saat itu tubuh mereka menjadi kebal terhadap segala bentuk benda tajam. Kehebatan mereka dapat disaksikan saat mereka melakukan Tarian Maggiri, sebuah tarian ritual dimana mereka menusuk diri mereka dengan benda-benda tajam tanpa terluka.
Wisatawan dapat menyaksikan atraksi-atraksi mereka pada saat Mappalili, yaitu upacara
turun sawah yang biasanya dilaksanakan pada bulan November. Upacara ini merupakan upacara tahunan yang paling spektakuler di Pangkep yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Puang Matowa Bissu di Pangkep, Saidi, kepada Upeks mengurai, kata 'Bissu' berasal dari kata 'Bessi' atau 'Mabessi' yang artinya bersih atau suci.
Hal ini mengacu kepada kondisi jasmani seorang bissu yang tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi. Umumnya kalangan bissu awalnya adalah wadam (wanita adam), calabai atau kawe-kawe. Kata Calabai akronim dari sala bai atau sala baine karena mereka adalah waria, setengah lelaki dan setengah perempuan sifatnya. Mereka adalah komunitas pria feminim. Namun ada pula Bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami masa menopause (tidak subur). Satu-satunya Bissu perempuan di Sulsel sekarang bernama Mak Temmi (Puang Temmi) tinggal di Kanaungan-Labakkang, Pangkep.
Sementara itu, dalam Makkulau (Disbudpar, 2007), pemerhati budaya di Pangkep ini menganggap, tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dalam ajaran dan kepercayaan yang dianut oleh Bissu. "Meskipun mereka menganut kepercayaan tu-riolo terhadap Dewata Seuwae' namun ajaran dan kepercayaan mereka hanya untuk komunitasnya, tidak mereka sebarkan atau dakwahkan sebagai dakwah islamiyah. Komunitas ini hanya komunitas kecil, jumlahnya hanya sekitar 20 orang di Pangkep, dan untung ada penambahan bissu dalam 5 tahun," jelasnya. Dia mengungkapkan, untuk menjadi seorang bissu seseorang itu harus memenuhi syarat: faktor keturunan (ada neneknya yang pernah menjadi bissu), waria (calabai), ada panggilan spiritual (biasanya lewat mimpi) terhadapnya, dan menjalani masa magang. Syarat tersebut harus lengkap, tidak boleh hanya ada salah satunya.
Meskipun ada juga Bissu perempuan—mereka yang menjadi Bissu setelah tidak subur lagi (menopause)—namun itu tidak dominan, sudah langka. Bissu umumnya berangkat dari status waria yang mendapatkan semacam ‘panggilan spiritual’ untuk menjalani takdirnya sebagai Bissu. Pemimpin Bissu digelari ‘Puang Matoa’, sedang wakilnya disebut ‘Puang Lolo’. Kalau melihat sepintas Bissu, mungkin kita akan tertipu karena mereka rata - rata berwajah keras dan berjanggut, padahal intinya mereka gemulai.
Yang membedakan Bissu dengan waria pada umumnya dapat kita saksikan saat mereka melakukan seni tari maggiri. Para Bissu itu menusukkan keris ke beberapa anggota anggota tubuhnya seperti tangan, pinggang, perut, atau leher, sambil menari diiringi musik palappasa. Mereka tidak menpan senjata tajam. Mereka adalah waria sakti dari peradaban bugis masa lampau. Pada masa keemasan kerajaan di Tanah Bugis, tidak satupun upacara atau sidang yang lengkap tanpa keterlibatan mereka. Bissu adalah pemelihara benda pusaka kebesaran kerajaan dan keagamaan pada masa itu.
Sebenarnya Bissu itu apa sich ? Pertanyaan pertama Mbak Meisya kepadaku saat Talk Show. Spontan saya jawab bahwa Bissu itu mirip - mirip dengan Biksu, soal peran. Kalo Biksu adalah pendeta Hindu sedang Bissu adalah Pendeta Bugis pada masa pra Islam. Sebelum Islam datang ke Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis Makassar itu sudah mengenal suatu kepercayaan animisme yang disebut Kepercayaan terhadap Dewata SeuwaE. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Bissu itu ‘pendeta’ masa lampau yang hidup di masa kini.
Dalam Sureq Galigo, komunitas bissu yang merupakan wanita adam (wadam) banyak disebut-sebut, termasuk perannya dalam kerajaan maupun dalam masyarakat adat. Bissu juga menjadi penghubung manusia dan Sang Pencipta, sekaligus menjadi penghubung masa lalu dan masa akan datang. Di kekinian, bissu boleh dikata menjadi benteng terakhir yang melindungi peradaban atau tradisi Bugis kuno.
Di antara bissu yang tenaganya banyak digunakan untuk keperluan ritual itu adalah Zaidi Puang Matoa. Dialah sesepuh atau pimpinan bissu yang tinggal di komunitasnya di Segeri, Kabupaten Pangkep.
Sebut saja upacara pernikahan putri Gubernur Sulsel M Amin Syam beberapa waktu lalu yang disebut-sebut salah satu prosesi pernikahan adat lengkap. Tak hanya putri gubernur, pernikahan putra-putri pembesar lainnya, termasuk keturunan raja, di sejumlah kabupaten/kota di Sulsel juga melibatkan Zaidi. Selain itu, di acara adat lain seperti syukuran, bernazar, naik rumah, memulai tanam padi, menebar benih ikan di tambak, Zaidi juga terlibat.
Tak jarang Zaidi juga terbang ke Jakarta dan kota-kota lain, setiap ada panggilan, terutama dari orang-orang Bugis yang berdiam di luar Sulsel, untuk urusan serupa. Selain yang terkait soal adat, Zaidi juga punya kelebihan mengobati orang dan melihat masa depan atau kejadian-kejadian penting yang akan terjadi.
Karena ke-bissu-an dan pengetahuannya itu, termasuk pemahamannya akan bahasa torilangi (bahasa dewata) yang banyak terdapat dalam naskah I La Galigo, sejak tahun 2003-2005, Zaidi menjadi satu-satunya bissu yang terlibat dalam pementasan teater keliling dunia, yang mengangkat cerita dari naskah kuno Sureq Galigo. Pementasan yang disutradarai Robert Wilson, salah satu sutradara teater terbaik di dunia, dibawa berkeliling di antaranya ke Singapura, Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Amerika Serikat.
Masih terkait dengan naskah I La Galigo, Zaidi pun dilibatkan oleh sejumlah guru besar dari Universitas Hasanuddin untuk menerjemahkan sebagian naskah itu. â€Karena memang ada bahasa dalam naskah I La Galigo yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh siapa pun kecuali oleh bissu, karena memang itu adalah bahasa dewata atau bahasa torilangi,†ujar bissu kelahiran 31 Desember 1963 ini.
Kepedulian Zaidi pada tradisi Bugis kuno bukan hanya ditunjukkan dengan mau terlibat dan memberi masukan di sejumlah perhelatan adat, tetapi juga kerap berkeliling kabupaten atau tempat lain untuk mencari benda-benda kuno yang dia percayai masih merupakan peninggalan pendahulunya dan sudah ada sejak zaman Sawerigading (tokoh sentral dalam cerita I La Galigo).
Diusir orangtua
Bagi Zaidi, menjadi bissu bukanlah cita-cita atau pengaruh, apalagi ikut-ikutan, melainkan panggilan dan takdir. Panggilan ini bahkan sudah dirasakan Zaidi sejak masih berusia sembilan tahun. Tak heran di antara komunitas bissu yang ada di Pangkep dan daerah lain seperti Bone, Luwu, Soppeng, dan Wajo, Zaidi cukup dikenal.
Seangkatannya, Zaidi-lah satu-satunya bissu. Angkatan lain jauh di atas maupun di bawah Zaidi. Perbedaan yang cukup jauh ini disebabkan adanya pemberantasan bissu tahun 1980-an yang menyebabkan komunitas itu jadi berkurang.
Dia masih sangat kecil saat tertarik menjadi bissu, sementara kami boleh dikata sudah tua. Waktu itu kami heran, soalnya, selain masih sangat kecil, tidak ada di antara kami yang pernah mengajak dia untuk ikut menjadi bissu. Kalau ada acara ma̢۪bissu atau acara adat lain yang melibatkan bissu, biasanya dia yang datang paling duluan. Sering pula kami dapati dia main bissu-bissu-an dengan teman-temannya. Makanya kami heran, kisah Puang Lolo, wakil Puang Matoa di komunitas bissu di Pangkep.
Menurut Zaidi, begitu kedua orangtuanya mengetahui minatnya menjadi bissu, mereka pun murka. Tiap hari saya dipukuli dan disiksa sampai badan saya luka-luka, bengkak, dan berdarah. Saya bahkan beberapa kali dilarikan ke UGD rumah sakit akibat pukulan orangtua saya. Tapi anehnya hal itu tidak mematikan keinginan saya menjadi bissu, katanya.
Bahkan, ketika orangtuanya memberikan pilihan angkat kaki dari rumah dan dikucilkan keluarga atau tidak menjadi bissu, Zaidi memilih meninggalkan rumah. Bukan hanya dari keluarga, tantangan juga datang dari masyarakat dan pemuka agama. Zaidi akhirnya bukan hanya meninggalkan rumah, tetapi juga meninggalkan kampungnya hingga situasi masyarakat membaik.
Orangtuanya akhirnya mau menerimanya kembali setelah seorang tokoh masyarakat menemui orangtuanya dan memintanya untuk menerima Zaidi apa adanya. Orang tua itu bilang kepada orangtua saya bahwa suatu saat saya akan jadi orang penting dan dicari oleh orang-orang penting. Dia juga bilang bahwa bissu sudah menjadi takdir saya dan karena itu orangtua saya harus ikhlas menerima apa adanya, katanya.
Kini, bersama rekan-rekannya sesama bissu di Pangkep yang jumlahnya tinggal sekitar 10 orang, Zaidi terus menjaga adat dan peradaban Bugis. Zaidi pun tak jemu-jemunya mengajarkan kepada siapa pun, terutama bissu-bissu baru yang jumlahnya kian berkurang kian hari, tentang adat dan kebijakan para pendahulu.
Di antara bissu yang tenaganya banyak digunakan untuk keperluan ritual itu adalah Zaidi Puang Matoa. Dialah sesepuh atau pimpinan bissu yang tinggal di komunitasnya di Segeri, Kabupaten Pangkep.
Sebut saja upacara pernikahan putri Gubernur Sulsel M Amin Syam beberapa waktu lalu yang disebut-sebut salah satu prosesi pernikahan adat lengkap. Tak hanya putri gubernur, pernikahan putra-putri pembesar lainnya, termasuk keturunan raja, di sejumlah kabupaten/kota di Sulsel juga melibatkan Zaidi. Selain itu, di acara adat lain seperti syukuran, bernazar, naik rumah, memulai tanam padi, menebar benih ikan di tambak, Zaidi juga terlibat.
Tak jarang Zaidi juga terbang ke Jakarta dan kota-kota lain, setiap ada panggilan, terutama dari orang-orang Bugis yang berdiam di luar Sulsel, untuk urusan serupa. Selain yang terkait soal adat, Zaidi juga punya kelebihan mengobati orang dan melihat masa depan atau kejadian-kejadian penting yang akan terjadi.
Karena ke-bissu-an dan pengetahuannya itu, termasuk pemahamannya akan bahasa torilangi (bahasa dewata) yang banyak terdapat dalam naskah I La Galigo, sejak tahun 2003-2005, Zaidi menjadi satu-satunya bissu yang terlibat dalam pementasan teater keliling dunia, yang mengangkat cerita dari naskah kuno Sureq Galigo. Pementasan yang disutradarai Robert Wilson, salah satu sutradara teater terbaik di dunia, dibawa berkeliling di antaranya ke Singapura, Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Amerika Serikat.
Masih terkait dengan naskah I La Galigo, Zaidi pun dilibatkan oleh sejumlah guru besar dari Universitas Hasanuddin untuk menerjemahkan sebagian naskah itu. â€Karena memang ada bahasa dalam naskah I La Galigo yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh siapa pun kecuali oleh bissu, karena memang itu adalah bahasa dewata atau bahasa torilangi,†ujar bissu kelahiran 31 Desember 1963 ini.
Kepedulian Zaidi pada tradisi Bugis kuno bukan hanya ditunjukkan dengan mau terlibat dan memberi masukan di sejumlah perhelatan adat, tetapi juga kerap berkeliling kabupaten atau tempat lain untuk mencari benda-benda kuno yang dia percayai masih merupakan peninggalan pendahulunya dan sudah ada sejak zaman Sawerigading (tokoh sentral dalam cerita I La Galigo).
Diusir orangtua
Bagi Zaidi, menjadi bissu bukanlah cita-cita atau pengaruh, apalagi ikut-ikutan, melainkan panggilan dan takdir. Panggilan ini bahkan sudah dirasakan Zaidi sejak masih berusia sembilan tahun. Tak heran di antara komunitas bissu yang ada di Pangkep dan daerah lain seperti Bone, Luwu, Soppeng, dan Wajo, Zaidi cukup dikenal.
Seangkatannya, Zaidi-lah satu-satunya bissu. Angkatan lain jauh di atas maupun di bawah Zaidi. Perbedaan yang cukup jauh ini disebabkan adanya pemberantasan bissu tahun 1980-an yang menyebabkan komunitas itu jadi berkurang.
Dia masih sangat kecil saat tertarik menjadi bissu, sementara kami boleh dikata sudah tua. Waktu itu kami heran, soalnya, selain masih sangat kecil, tidak ada di antara kami yang pernah mengajak dia untuk ikut menjadi bissu. Kalau ada acara ma̢۪bissu atau acara adat lain yang melibatkan bissu, biasanya dia yang datang paling duluan. Sering pula kami dapati dia main bissu-bissu-an dengan teman-temannya. Makanya kami heran, kisah Puang Lolo, wakil Puang Matoa di komunitas bissu di Pangkep.
Menurut Zaidi, begitu kedua orangtuanya mengetahui minatnya menjadi bissu, mereka pun murka. Tiap hari saya dipukuli dan disiksa sampai badan saya luka-luka, bengkak, dan berdarah. Saya bahkan beberapa kali dilarikan ke UGD rumah sakit akibat pukulan orangtua saya. Tapi anehnya hal itu tidak mematikan keinginan saya menjadi bissu, katanya.
Bahkan, ketika orangtuanya memberikan pilihan angkat kaki dari rumah dan dikucilkan keluarga atau tidak menjadi bissu, Zaidi memilih meninggalkan rumah. Bukan hanya dari keluarga, tantangan juga datang dari masyarakat dan pemuka agama. Zaidi akhirnya bukan hanya meninggalkan rumah, tetapi juga meninggalkan kampungnya hingga situasi masyarakat membaik.
Orangtuanya akhirnya mau menerimanya kembali setelah seorang tokoh masyarakat menemui orangtuanya dan memintanya untuk menerima Zaidi apa adanya. Orang tua itu bilang kepada orangtua saya bahwa suatu saat saya akan jadi orang penting dan dicari oleh orang-orang penting. Dia juga bilang bahwa bissu sudah menjadi takdir saya dan karena itu orangtua saya harus ikhlas menerima apa adanya, katanya.
Kini, bersama rekan-rekannya sesama bissu di Pangkep yang jumlahnya tinggal sekitar 10 orang, Zaidi terus menjaga adat dan peradaban Bugis. Zaidi pun tak jemu-jemunya mengajarkan kepada siapa pun, terutama bissu-bissu baru yang jumlahnya kian berkurang kian hari, tentang adat dan kebijakan para pendahulu.
Adat masih ada saja tatanan kehidupan sudah kacau seperti sekarang. Pemimpin dan pembesar sudah banyak yang bertindak tidak benar. Peradilan sudah tidak adil, banyak orang kaya yang melupakan orang miskin dan tidak peduli lagi sekitarnya, alam dirusak sedemikian rupa. Bagaimana jadinya kalau adat dan kebijakan atau falsafah hidup orang dulu sudah hilang sama sekali. Karena itu, saya sangat berharap akan semakin banyak orang mau mendalami budaya dan adat istiadat pendahulu kita, katanya.
Daftar Pustaka bro, biar yang baca juga mengetahui hal ini asumsi atau bukan. meskipun termasuk dalam sejarah lisan, bisa ditulis sebagai wawancara dengan siapa, pada tanggal berapa, di mana, dll.
ReplyDelete